Teror Musim Semi
by : Auctor

Tidak. Tidak ada yang tahu kenapa kota Bandung bisa berubah menjadi seperti itu.

Enam tahun yang lalu, alam mengamuk (secara harfiah). Mendadak, vegetasi merajalela menghancurkan bangunan tinggi yang mendominasi Bandung. Hewan-hewan membesar ukurannya. Ada ular sepanjang puluhan meter dan kucing yang sebesar harimau.

Para ahli agama menyebut ini azab Tuhan karena pembangunan yang semena-mena, tidak mempertimbangkan alam. Para dukun menyebut ini bentuk serangan magis negara lain (kalau ini benar, terbukti dukun impor lebih sakti dari dukun lokal). Para peneliti dan ilmuwan mengatakan ini dikarenakan jumlah oksigen yang tiba-tiba naik.

Ah, aku tidak begitu peduli dengan semua itu. Aku tinggal di rumah nyaman di Jakarta, bekerja sebagai desainer freelance. Penghasilanku cukup besar.

Lampu berkedap-kedip, kemudian mati. Sialan; jangan-jangan ada kejadian pohon menimpa sutet atau sejenisnya. Aku mengambil senter. Sialnya, aku juga lupa mengisinya dengan listrik.

Aku menyentuh senter itu pelan, kemudian memunculkan listrik dari jariku. Senter itu kemudian menyala dengan baik. Cahaya kuning menyinari ruangan kerjaku.

Kakakku, Kak Mirai, teman-temanku, Markus dan Elena, dan aku pergi jalan-jalan ke sebuah tempat terpencil. Kami jatuh pingsan, lalu ... entahlah, kami mendadak bisa melakukan sihir.

Yang kuingat, Kak Anne dan Kak Kelly, dua orang peneliti di sebuah universitas terkemuka yang ikut berwisata dengan kami sebagai alumni, merawat kami di hutan sampai sembuh selama tiga hari.

Kami jelas menyembunyikan rahasia itu (kami kan tidak bodoh). Tidak ada yang tahu tentang aku yang bisa memanggil listrik, Kak Mirai yang bisa membuat api, Markus yang kecepatan dan kekuatannya bertambah berkali-kali lipat, dan Elena yang bisa melakukan telekinesis.

Akan tetapi, ketenanganku akan segera terganggu oleh deringan telepon. "Hoi, Johan!" ujar suara yang kukenal baik itu; suara Kak Mirai.

"Kenapa, Kak Mirai?" tanyaku dengan nada malas.

"Lihat foto yang kukirimkan di grup kita dengan Markus dan Elena."

Kuperhatikan foto itu. Foto ... foto Rein, seorang teman yang hilang saat wisata kami ke hutan. Tidak, lebih tepatnya, ia meninggal terseret arus sungai. Ia nampak berada di tengah-tengah vegetasi lebat.

Aku menggigit bibir, berusaha menghilangkan memori kelam itu. Bagiku, ia lebih dari seorang teman. Lebih dari seorang sahabat, bahkan. Kilat kembali ke mataku. Tanganku bergetar hebat; bisa jadi ini kesempatan untuk menemukan Rein.

"Di mana dia?" tanyaku.

"Bandung. Markus, Elena, dan aku akan pergi mencarinya. Kau ikut tidak?"

"Ke Bandung? Kakak tahu, kan, kalau Bandung itu kota mati?" tanyaku kaget. Kukira ia hilang di hutan atau semacamnya. Yah, ini di hutan, sih, tapi hutan dengan ular raksasa kan berbeda dengan hutan biasa.

"Kau ikut tidak?" ulang Kak Mirai.

"Ikut."

***

"Hai, Johan!" Markus yang berbadan kekar dan tegap menyapaku di perbatasan Bandung. Ia membawa sebuah tas besar.

"Oh, Markus. Sudah lama kita tak berjumpa. Di mana Elena dan Kak Mirai?" tanyaku.

"Itu di sana."

Markus dan aku berjalan ke arah utara beberapa ratus meter jauhnya. Kak Mirai dan Elena sedang bersiap-siap. Tas-tas yang berisi perlengkapan semuanya terisi penuh.

"Sudah siap?" tanya Elena. Kami menghadap sebuah pintu besar yang terbuat dari baja.

Kami bertiga mengangguk. Elena menelan ludah. Wanita berambut merah itu mengayunkan tangannya, dan pintu baja itu terbuka. Dengan tinggi lebih kurang lima puluh meter, tentu tak gampang menembus pintu ini; mungkin karena itulah tidak ada penjaga di sini.

Begitu pintu dibuka, seekor ular raksasa melompat ke udara, mulutnya terbuka lebar. Markus mengayunkan tinju, membuat ular itu menggelepar di tanah. Markus menginjaknya untuk memastikan.

"Yang benar saja!" gumam Kak Mirai, "ular itu tak kurang dari tiga puluh meter panjangnya."

"Oke. Sekarang, kita ke mana?" tanyaku.

"Kau ... belum dapat informasi apa-apa, ya?" tanya Markus. Ia menghembuskan napas berat.

"Eh?"

"Kabarnya, ada sebuah gedung di tengah kota," ujar Kak Mirai, "sebuah gedung operasional, ada manusianya, padahal Bandung itu kota mati dan pemerintah melarang semua orang untuk masuk. Kita tidak tahu untuk apa gedung itu, tetapi jika Rein masih hidup, gedung itu adalah harapan terbaik kita."

"Dia pasti hidup," ujarku, "dia tangguh."

Ucapanku dibalas anggukan serempak dari Kak Mirai, Elena, dan Markus. Belum beberapa ratus meter kami berjalan, rintangan lain menanti.

Suara teriakan kumpulan monyet raksasa memekakkan telinga. Monyet-monyet setinggi empat meter itu turun dari pohon dengan lompatan-lompatan keras.

"Hah!" Aku menyambar mereka dengan listrik dari jari-jariku, Kak Mirai membakar mereka sampai hanya abu yang tersisa, Elena melempar mereka seperti boneka. Akan tetapi, Markuslah yang paling berjasa; ia dengan beringas membantai kawanan monyet itu. Dengan cepat, tumpukan mayat monyet bergelimpangan di sekitar kami.

"Berbahaya sekali," gumam Kak Mirai.

"Tentu saja," balasku.

Suara burung-burung predator yang kencang menghujani kami dengan kengerian selagi kami berjalan menembus vegetasi hutan yang kurang ajar sekali kuantitasnya.

Lagi-lagi, semburan api dan petir menjatuhkan hewan-hewan itu. Elena menarik mereka ke tanah, di mana Markus menghancurkan tulang mereka dan merusak tubuh mereka. Jujur, aku heran. Kenapa semua makhluk di sini ingin menghancurkan kami? Ukuran kami relatif kecil, tidak cocok dijadikan makanan. Mau dibilang ancaman juga bukan; kami hanya melawan jika diserang. Namun, hewan-hewan di sini agresif sekali menyerang kami.

Seolah-olah mereka dikendalikan sesuatu.

Kemudian, enam ekor burung raksasa mengangkat Markus ke udara. Markus tidak berdaya, kaki dan tangannya lumpuh karena cengkeraman burung-burung raksasa itu. "Johan!" teriak Elena panik, "tembak jatuh mereka!"

Akan tetapi, aku tidak bisa. Puluhan burung mengepung kami bertiga, menghalangi pandanganku. Kalau asal tembak, aku takut justru Markus yang kusetrum. Kami hanya bisa membantai mereka, lalu menatap Markus dibawa pergi. "Tidak! Markus!" lolong Elena sambil menangis.

"Jangan menangis begitu," sebuah suara dingin terdengar dari atas pohon.

"Siapa kau?!" tanya Kak Mirai. Orang itu melompat dengan mulus tanpa cedera; jelas ia bukan orang biasa. Orang itu membersihkan jas tebalnya dengan sebuah sapuan cepat. Ia mengenakan masker kain, topi hitam, dan kacamata; kami betul-betul tidak bisa mengenalinya.

"Tidak penting. Kau mau menyelamatkan teman kalian, kan?"

Kami terdiam. "Datanglah ke gedung di tengah kota. Kalian tahu gedung apa."

"Kalau ... tidak?" tanya Kak Mirai sambil menggertakan gigi. Elena menatap Kak Mirai tajam.

Burung-burung raksasa itu kembali; pasti mereka, entah bagaimana, dikontrol orang misterius itu. "Kita bisa pakai cara kasar."

Kami menutup mulut. Orang itu menghilang ke dalam pepohonan. Kami berjalan dalam diam diiringi tangisan dan erangan pelan Elena. Terlalu banyak pertanyaan di kepala kami dan tidak ada yang punya jawabannya.

Kami tiba di daerah yang lebih lapang. Rumput-rumputan liar bertumbuh kembang di sini. Kelinci-kelinci yang, untungnya, lumayan pasif hidup di sini. Bodohnya kami, kami tidak menyadari bahwa kelinci mampu menggali lubang.

"Aaahhh!" teriak kami bertiga bersamaan setelah terperosok ke dalam sebuah lubang. Kami jatuh, barangkali, sekitar delapan belas meter.

"Mayat!" pekik Kak Mirai menunjuk sebuah tubuh. Kak Mirai menerangi lorong dengan api miliknya.

"Mayat ini lumayan segar," kataku. Aku mencium bau darah, beserta bau bahan kimia; mungkin amonia.

"Tidak penting," kata Elena. Suara cicitan tikus muncul dari kejauhan.

"Elena, kau bisa terbang?" tanya Kak Mirai.

"Tidak bisa lama," balasnya diiringi cicitan tikus yang semakin menjadi-jadi, "dan aku hanya bisa membawa salah satu dari kalian ke atas. Tidak bisa bersamaan."

"Bawa Kak Mirai dulu," perintahku, "aku belakangan."

Elena menaruh tangannya di bahu Kak Mirai dan mereka mulai naik ke atas. Aku menciptakan sambaran listrik yang menggosongkan tikus-tikus raksasa yang berdatangan. Kak Mirai melemparkan bola-bola api dari atas.

Kak Mirai sudah aman di atas. Elena turun ke bawah lagi untuk menjemputku. Aku memegangi tangannya dengan kencang sementara tangan kiriku menghempaskan mereka dengan petir. Aku melihat para tikus mulai membuat sejenis piramida untuk menjangkau kami.

"Elena, cepatlah!" jeritku agak panik. Elena setengah melompat, kakinya mendarat dengan aman di tanah.

"Huah ... akhirnya sampai," ujar Elena lega. Ia agak ngos-ngosan setelah mengangkat kami berdua.

Mendadak, seekor tikus melompat dari bawah, mencengkeram Elena dengan kuat dan menariknya ke bawah tanah.

"Elena!"

"Johan, jangan turun!" Kak Mirai menahanku agar tidak menyemplung ke bawah.

"Wah, wah," kata orang aneh itu lagi, "tinggal dua, ya? Mengecewakan."

"Cukup sudah!" Amarah Kak Mirai tak terkendalikan lagi. Ia melemparkan bola api raksasa ke arah orang itu.

Orang asing itu memunculkan bola api yang sama besarnya, menetralisir bola api Kak Mirai. "Aturannya masih berlaku. Mereka berdua masih hidup ... tetapi entah sampai kapan."

Kemudian, dia hilang.

"Ayo kita lanjut," kata Kak Mirai sambil mendengus marah, "kita harus mencari Markus dan Elena."

"Dan Rein."

Kak Mirai mengangguk. Kami berjalan cepat menyusuri tanah berumput, sekali-sekali duduk untuk sekadar mengonsumsi bekal. Matahari sedang terik-teriknya saat kami mencapai sebuah sungai lebar. Janggal memang; tumbuhan ada berlimpah ruah di sini seolah sedang musim semi, padahal musim panas yang mengerikan sedang melanda. Namun, pikirku, itu hal paling normal di hutan ini.

Aku mengigit bibir melihat perahu kecil yang tersedia. "Terlalu jauh jika harus memutar," kata Kak Mirai seolah membaca pikiranku, "aku yang mendayung. Kau berjaga; petirmu lebih kuat di air sementara apiku menjadi lemah."

Kak Mirai mendayung secepat yang ia bisa. Aku menaruh dua buah jari di dalam air dan mengeluarkan selubung listrik untuk menahan mahkluk air yang mungkin menyerang. Aku bisa merasakan beberapa ikan raksasa yang tersetrum dan kabur. Janggalnya, ada beberapa yang mampu menerjang masuk.

"Kak Mirai," desisku, "ada sesuatu yang– "

"Awas!"

Secara instingtif, aku menunduk. Kak Mirai menyemburkan api dari mulutnya. "Sialan, belut listrik!" maki Kak Mirai.

Aku mengambil alih sampan sementara Kak Mirai menghalangi belut-belut sepanjang tujuh meter yang berusaha menenggelamkan kami.

"Bertahanlah, Kak Mirai!" jeritku, "hampir sampai!"

Perahu kami sampai di tepi. Aku melompat dahulu, lalu menjulurkan tangan pada Kak Mirai yang kewalahan menghadapi serangan belut listrik. Kak Mirai menggengam kencang tanganku.

"Tanganku!" jerit Kak Mirai. Seekor belut menggigit tangannya yang satu lagi.

Tanpa kusadari, belut yang lebih kuat daripada aku itu menarik Kak Mirai ke dalam air.

"Kak Mirai!"

"Ah, tinggal kau yang tersisa. Selamat, ya."

Sosok misterius itu muncul lagi. Kali ini, ia membawa sebuah kotak hitam besar setinggi tiga meter.

"Sudah cukup. Aku sudah muak."

Petir menyambar dari tanganku, tetapi sosok itu dengan mudah menangkisnya. Kak Mirai yang tak sadarkan diri diangkat dari sungai oleh seorang lainnya yang juga tak kukenal. Orang itu memakai baju selam.

Keduanya membuka kotak hitam yang ternyata berisi Elena dan Markus. Aku menatap orang-orang misterius tajam.

"Ah, kita tidak perlu penyamaran lagi."

Mereka membuka topeng mereka.

"Kalian ... Kak Kelly? Kak Anne?"

Kak Kelly yang rambut pirangnya dikepang dua itu menyunggingkan senyum. Kak Anne, di sampingnya, melepas baju selam yang ia pakai.

"Apa-apaan ini?!"

"Hm? Tentu saja ini semua eksperimen kami," ujar Kak Anne sambil tertawa.

"Hah?!"

"Oh, ayolah, Johan," cibir Kak Kelly, "kalian pikir kekuatan 'sihir' kalian itu dari mana?"

"Kami, tentu saja! Oh, tentu saja, kami juga yang membuat kalian pingsan," lanjut Kak Anne.

"Di mana Rein?" desisku tajam. "Kalian apakan dia?!"

"Kau mau melihat makamnya atau mayatnya?" tanya Kak Kelly mengejek.

"Kalian membunuhnya?!"

"Bukan, bukan," kata Kak Anne, "hanya terjadi malfungsi peralatan eksperimen, kok. Itu hal biasa dalam penelitian."

Kak Kelly dan Kak Anne menatap satu sama lain, lalu mengangguk.

"Biar kutes sendiri seberhasil apa eksperimen kita yang satu ini."

Kak Anne menjulurkan tangannya, memuntahkan kilatan-kilatan petir. Aku mengangkat tangan, berusaha menyerap serangan itu.

Listrik yang menyakitkan menjalar ke seluruh tubuhku. Kak Anne tersenyum lebar.

"Berapa lama lagi kau bisa bertahan? Tunjukkan!"

"Aku tidak akan jatuh di sini!" teriakku dalam keputusasaan dan kemarahan.

Aku melompat ke samping dan menyerang balik, menciptakan sebuah sambaran petir kuat yang menghempaskan Kak Anne beberapa meter ke belakang. Tentu saja, ia langsung kembali berdiri dan menyerangku.

"Hebat! Hebat! Kau lihat itu, Kelly? Kau lihat itu? Dengan hasil eksperimen seperti itu, kita akan kaya!"

"Bukan kita."

Kak Kelly mengepalkan tangan, membuat Kak Anne melayang ke udara. Kak Anne memegangi lehernya. Kak Kelly membuka tangan dan badan Kak Anne terhempas ke tanah, tak bergerak lagi.

"Aku tidak akan main-main seperti Anne," ujarnya dingin.

"Sama."

Suara tegas tapi merdu itu mengejutkanku, karena aku tahu persis pemilik suara itu.

Rein.

Ia memegang sebuah pistol di tangannya sambil berjalan dengan tenang dari belakang. Personil polisi muncul entah dari mana. Mereka mengepung Kak Kelly.

"Kau tidak mati, Rein?" tanyaku syok. "Mereka bilang ..."

"Nanti dulu, Johan. Nanti dulu."

Akan tetapi, Kak Kelly bahkan lebih terkejut dibandingkan aku. Ia menatap Rein nanar, lalu bola matanya melirik para personil polisi. "Tidak mungkin! Bagaimana bisa kalian tahu?! Aku punya mata-mata di kepolisian!"

"Bukan, goblok," balas Rein tajam, "kepolisian yang punya mata-mata di komplotanmu."

"Cih!" Kak Kelly meludah. "Sini, tangkap aku kalau bisa!"

Ia mengayunkan tangan dan beberapa anggota kepolisian terjungkal dengan gampangnya.

"Tembak!" perintah Rein.

Akan tetapi, peluru-peluru yang dimuntahkan senapan para polisi itu membal, seolah-olah ada perisai tak terlihat yang melindungi Kak Kelly. Aku mengeluarkan petirku.

"Bombardir terus!" teriak Rein. Kak Kelly bertahan habis-habisan, perisainya dihantam peluru, listrik, granat, dan bahkan artileri ringan. Rein bersiap menembakkan jarum berisi obat tidur.

Akhirnya, perisai itu pecah. Aku mengalirkan listrik ke arah badan Kak Kelly, membuatnya mengerang kesakitan.

"Sekarang, Rein!"

Rein menembak.

Tidak kena.

"Sialan!" maki Rein. Ia memasukkan sebuah peluru ke dalam senapannya. Kak Kelly mengamuk. Ia melompat seperti hewan buas ke arah kami. Tinjunya diarahkan ke Rein.

"Jangan harap, jalang!" semburku. Aku melemparkan bola listrik raksasa ke punggung Kak Kelly, menjatuhkannya ke tanah sambil berteriak kesakitan. Ia keras kepala; Kak Kelly bangkit lagi, tangannya bersiap menjungkalkan Rein yang sedang membidik.

Aku mendorong Kak Kelly ke samping. Rein menembak.

Kena.

Kak Kelly tumbang ke tanah; entah berapa banyak obat tidur yang disuntikkan ke tubuhnya. Rein menjatuhkan senapannya dan berjalan elegan ke arahku. Senyumnya lebar sekali.

Seolah insting, kami memeluk satu sama lain; tanganku mengalungi bahunya dan tangannya mengalungi bahuku. Kata-kata yang sama meluncur dari mulut kami.

. "Aku merindukanmu."